Selasa, 28 Juli 2009
Minggu, 19 Juli 2009
"kambing hitam" alias "scape-goat" Tradisi Israel
Tiap kali kekerasan terjadi, ramai-ramai kita mengutuknya. Kita sebagai kesatuan kolektif merasa tidak tersangkut dengan itu semua dan lantas merasa bersih. Maka, begitu pelaku kekerasan terungkap dan tertangkap, kelegaan itu bertambah besar, terlebih saat pelaku sama sekali tak ada sangkutannya dengan kita. Seakan-akan kita semua oke, kasip dari kemungkinan sebagai bagian dari prilaku kekerasan.
Itulah versi lain dari "mekanisme kambing hitam".
Kita terbiasa menyebut istilah "kambing hitam" kepada objek yang dianggap sebagai asal muasal masalah, entah itu kekerasan, entah itu huru-hara, entah apa pun itu. Seringkali "kambing hitam" kita rujuk sebagai objek yang sebenarnya bukan pelaku sesungguhnya, hanya pengalihan, sekadar orang yang dipersalahkan.
Tapi "mekanisme kambing hitam" tak sesederhana itu. Untuk mengetahui genesis mekanisme kambing hitam, Anda bisa membacanya dengan lebih lengkap di wikipedia pada halaman ini. Saya akan meringkasnya berdasarkan apa yang ditulis oleh Andreas Anangguru Yewangoe dalam buku Agama dan Kerukunan (hal. 29-30):
"Dalam tradisi Israel (Perjanjian Lama), pada hari raya Grafirat, dua ekor domba disiapkan. Yang seekor disembelih dan dipersembahkan sebagai kurban pengampunan dosa, dan yang lainnya dibiarkan hidup. Keatasnya diletakkan dosa-dosa umat Israel, lalu bintang itu diusir ke padang gurun. Dengan demikian dosa-dosa bangsa Israel ikut dibawa ke sana, dan umat dipulihkan kembali. Segala kegiatan sehari-hari berjalan lagi seperti biasa, karena krisis sudah lewat."
Istilah "kambing hitam" alias "scape-goat" bermula dari situ. Dari apa yang mulanya lahir dalam ritus, "mekanisme kambing hitam" secara jenial ditafsir-kembangkan oleh Rene Girard sebagai salah satu cara untuk memahami reproduksi kekerasan yang berlangsung terus-menerus, dari hari ke hari, dari abad ke abad, dan bagaimana kekerasan itu bersamayam sebagai sebuah potensi yang hanya menunggu waktu saja untuk mencuat dan meledak.
Kekerasan, seperti pernah ditunjukkan oleh Erich Fromm dengan dualisme etos dalam diri manusia yaitu "eros" dan "pathos", adalah sesuatu yang imanen dalam sejarah manusia. Ketika itu, kekerasan terjadi antar satu orang dengan yang lain. "Homo homini lupus", manusia menjadi serigala bagi yang lain, kata Thomas Hobbes. Dalam situasi tertentu, kekerasan tidak lagi berlangsung antara orang per orang, tapi kelompok dengan kelompok, semua melawan semua -- "bellum omnium contra omnes", pinjam istilah Hobbes yang lain.
Agama-agama kuno mencoba mengatasi kesulitan ini dengan upacara korban, yakni dengan melemparkan penyebab penderitaan itu pada suatu sosok, yang disebut "kambing hitam".
Sosok yang menjadi "kambing hitam" ini bukan cuma diperlakukan sebagai muasal penyebab penderitaan kekerasan, tapi juga pada semua jenis penderitaan, kesusahan, cobaan, tulah, melapateka dan bala yang menimpa sebuah kota.
Naskah Oedipus Rex yang ditulis Sophocles dimulai oleh pertanyaan: siapa penyebab dewa-dewa menurunkan wabah penyakit? Dalam versi mitologi, kesalahan ditimpakan pada Oedipus yang dituduh membunuh Laius dan memperkosa ibunya, Yocasta.
Rene Girrard pernah menuliskan secara khusus sosok Ayub sebagai ilustrasi sosok kambing hitam --selain sosok Oedipus-- dalam bukunya, Job, the Victim of His People. Saya kutipkan apa yang ditulis Girard di buku itu berdasar versi terjemahan penerbit BPK Gunung Mulia:
"Proses pemilihan seorang korban pengganti menyisihkan antagonisme setiap orang dalam satu gerakan dengan memusatkan perhatian pada musuh bersama, dan kemudian menyingkirkan sang korban. Hal itu menghidupkan kembali perdamaian, seolah-olah hal itu amat menakjubkan dan efek yang ditimbulkannya diperbesar oleh kenyataan bahwa kesatuan yang diperoleh kembali dengan tiba-tiba tampak sebagai hasil dari intervensi kuasa supranatural....
Korban diubah menjadi obat yang amat mengagumkan, berbahaya, namun dalam dosis yang pas, ia mampu menyembuhkan semua penyakit. Bila Ayub bersedia memainkan peranannya dengan patuh niscaya ia akan segera diubah menjadi seseorang yang besar, bahkan mungkin sebagai yang sedikit bersifat illahi."
Dengan itulah, kata Girard, situasi yang tadinya satu lawan satu (homo homini lupus) atau semua lawan semua (bellum omnium contra omnes) berganti menjadi "satu lawan semua".
Tapi dengan itulah masyarakat, kita semua, merasa tersembuhkan karena kekerasan, kehancuran dan penderitaan itu sudah dibebankan penyebabnya pada orang lain, Si Kambing Hitam, bukan pada potensi kekerasan yang sebenarnya ada pada setiap orang.
Dalam kata-kata Sindhunata, yang terpacak di salah satu halaman bukunya yang berjudul Kambing Hitam: Teori Rene Girard (hal. 205):
"...rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa perdamaian. Ia tampak sekaligus sebagai yang terkutuk dan pembawa keselamatan. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan seraya dipindahkan ke luar, dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri."
Kematian, pengusiran atau pengasingan sosok atau objek yang jadi kambing hitam kerap mendatangkan efek menenangkan yang misterius. Ketika tubuh korban tercabik-cabik atau ketika punggung korban yang terusir makin menjauh di ujung cakrawala pandangan umat yang mengusirnya, ada ketenangan yang menjalar, ada rasa aman yang mewedar. Proses spontan yang berlangsung selama berabad-abad itu mengajar manusia purba bahwa cara paling efektif untuk mencegah kekerasan yang tak terkendali adalah dengan menyalurkan ketegangan kolektif pada individu atau sekelompok orang tertentu.
(Carl Schimtt, penulis buku Politische Theologie, yang juga menguraikan bagaimana agama dan ritus-ritusnya menjadi "selimut kekerasan", menyebutkan bahwa kata "decision" berasal dari kata "decidere" yang berarti: memenggal leher korban. "Memutuskan" berarti memenggal leher korban. Baca Filsafat Fragmentaris karya F. Budi Hardiman, halaman 169)
Tapi karena kekerasan sudah telanjur imanen dalam sejarah peradaban, kekerasan akhirnya tidak lantas punah saat satu korban sudah dihabisi (macam Yesus oleh orang Yahudi atau orang Yahudi oleh Nazi), diasingkan (macam Ayub) atau diusir (macam orang tua dan anak kembar buncing atau kembar laki-perempuan dalam tradisi lama Bali). Ia terus berulang dan tereproduksi melalui -- dalam kata-kata Girard-- "proses mimetik".
Girard tentu saja tidak selalu benar. Seperti yang pernah dikritik oleh Leo D Lefebure dalam halaman 32-36 bukunya Christian Living: Revelation, the Religions, and Violence, Girard kadang terlalu menyederhanakan proses kompleks dalam sejarah peradaban. Ia juga mengabaikan begitu saja korban-korban kambing hitam yang tidak berdarah, seperti korban sayur-sayuran, tanaman, atau hasil bumi yang hanya dibiarkan teronggok dan membusuk.
Tapi Girard menurut saya menawarkan salah satu cara baca yang nyaris jadi prosedur dalam cara kita menyikapi kekerasan.
Mengasingkan dan mengutuk para pelaku kekerasan, dengan demikian, menjadi "mekanisme kambing hitam" yang lain: itulah saat di mana kita semua memindahkan potensi kekerasan yang imanen dalam diri kita sendiri sepenuhnya ke jidat orang lain, bahkan walau pun orang lain itu nyata-nyata adalah seorang teroris. Alih-alih mengakui bahwa pada setiap masing-masing diri kita mengidap potensi kekerasan, betapa pun ringannya, kita justru mengelak, menangkis dan tidak mengakui potensi itu.
Pelaku kekerasan, termasuk para teroris itu, jauh lebih baik untuk diakui sebagai bagian inheren dari kebudayaan, peradaban dan diri kita sendiri. Dengan meminjam pikiran Emmanuel Levinas, menerima dan mengakui itu semua membuat kita menjadi terbuka dan menyambut "yang lain", "sang liyan", "the others".
Dengan itulah, kekerasan justru bisa diperiksa dengan lebih cermat dan adil, sebab memeriksa sesuatu yang tidak kita akui, mencermati apa yang kita tolak dan berjarak dari diri kita sendiri, lebih mungkin menjadi suatu kerja yang meleset ketimbang akurat, lebih mungkin menjadi satu kerja yang gagal daripada berhasil.
Itulah sebabnya Karlina Leksono, dalam pidato kebudayaannya beberapa tahun silam, pernah menyebut bahwa gerakan tanpa-kekerasan (non-violance) dalam dirinya sendiri memendam contradictio in-terminis.
Tanpa-kekerasan (non-violence) murni hanya tercapai melalui ketidakberhubungan terhadap yang lain, dan ketidakberhubungan itu sendiri adalah kekerasan sekalipun dalam bentuknya yang paling ringan. Kebisuan seseorang, semata-mata gerak isyarat kolektif, atau harapan utopis akan kondisi tanpa kekerasan merupakan kekerasan pula.
Ini seperti gema kata-kata Derrida yang disuar-pendarkan dalam esainya yang provokatif berjudul Violance and Metaphysics (diterbitkan dalam antologi esai berjudul Writing and Differance). Karena seseorang tidak mungkin menghindarkan diri dari berbicara, dan tak ada penolakan atau pencelaan terhadap kekerasan yang tanpa tindakan atau gerak isyarat tertentu, ujar Derrida, ...maka penolakan terhadap kekerasan hanyalah dengan kekerasan lagi, betapa pun ringannya.
Tampaknya, memang "selalu ada kambing (hitam) di antara kita". Atau, jangan-jangan, lebih tepat kalimatnya di balik jadi: "Selalu ada kita di antara kambing (hitam)"?
Minggu, 05 Juli 2009
"Kebenaran"
Untuk menguasai agama tidak perlu beragama, demikian kata kaum liberal. Itulah sebabnya mereka membuat “teologi-teologi” baru. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu logikanya
“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang missionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya dokrtin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya.
Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern Barat terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran dari pada persahabatan.
Tidak puas dengan sekedar membenci, postmodernisn lalu ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka lalu membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global di ciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One, Tuhan semua agama. Tapi bagaimana konsepnya, tidak jelas betul.
Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berfikir. “Berfikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka fikir ini. Hadith Nabi Idha ra’a minkum munkaran…dst bukan hanya menyalahi kerangka fikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal.
Jadi merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! Sadar atau tidak mereka sedang men “dakwah”kan ayat-ayat syetan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah”. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah.
Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk ummat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan.
Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolut. Kalau “semua adalah relatif” maka yang mengatakan “disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini self-contradictory yang absurd.
Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah. Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Krsiten missionaries dan 27% atheis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin postmo pun berubah:“Anda boleh percaya yang absolut asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar.
Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “yang absolut hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud). Tapi ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadith yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dsb. adalah relatif belaka. Tidak absolut. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman al-haqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada disini di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak.
Thomas F Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem, menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal 60). Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia,…tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama ’al-Nas a‘da ma jahila, manusia itu benci terhadap apa yang tak diketahuinya.
oleh: Hamid Fahmi Zarkasy *
www.hidayatullah.com
“Wajah Barat”
Jika umat Islam ingin maju seperti Barat, maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam
Suatu hari David Thomas, Pendeta dan Professor teologi di Selly Oak College, Universitas Birmingham, Inggris ditanya seorang mahasiswanya yang Muslim.
“Are you happy with the Western civilization?” “No, not at all” jawabnya tegas.
“Why?” tanyanya. Sebab, paparnya, Barat dan orang-orang Barat maju dan berkembang bukan karena Kristen.
Bos pabrik cokelat Cadbury, katanya mencontohkan, menyumbang dana jutaan Poundsterling untuk membangun perpustakaan Selly Oak bukan karena ia seorang Kristen, tapi karena ia kaya dan punya dana sosial lebih.
Jawaban Thomas mengungkap fakta sejarah. Barat bukan Kristen. Sejarawan Barat seperti Onians, R.B, Arthur, W.H.A, Jones, W.T.C, atau William McNeill, umumnya menganggap “Ionia is the cradle of Western civilization” dan Bukan Kristen. Agama Kristen malahan telah ter-Baratkan. Thomas sepertinya ingin mengatakan bahwa Barat tidak lahir dari pandangan hidup Kristen.
Sosoknya mulai nampak ketika marah dan protes terhadap otoritas gereja. Agama dipaksa duduk manis di ruang gereja dan tidak boleh ikut campur dalam ruang publik. Diskursus teologi hanya boleh dilakukan dengan bisik-bisik. Tapi orang boleh teriak anti agama. Hegemoni diganti dengan hegemoni. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Teriakan Nietzsche “God is dead” masih terdengar hingga saat ini. Dalam The Gay Science ia mengatakan, “ketika kami mendengar “tuhan yang tua itu mati” kami para filosof dan “jiwa-jiwa yang bebas” merasa seakan-akan fajar telah menyingsing menyinari kita”.
Kematian tuhan di Barat ditandai oleh penutupan diskursus metafisika tempat teologi bersemayam. Tuhan bukan lagi supreme being (Maha Kuasa). Tidak ada lagi yang absolute. Semua relatif. Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar maka orang lain berhak menghakimi itu salah. Tuhan tidak lagi bisa diwakili. Ia telah mati. Barat adalah alam pikiran dan pandangan hidup.
Mengapa tuhan perlu dibunuh? Kalau Marx menganggap agama sebagai candu masyarakat, Nietzsche menganggap tuhan sebagai tirani jiwa (tyrant of the soul). Beriman pada tuhan tidak bebas dan bebas berarti tanpa iman. Sebab beriman berarti sanggup menerima perintah, larangan atau peraturan yang mengikat. Barat adalah alam pikiran pandangan hidup.
Sejarah Barat adalah sejarah pencarian “kebenaran”. Tapi mencari kebenaran di Barat lebih penting dari kebenaran itu sendiri. Mencari untuk mencari, ilmu untuk ilmu, seni untuk seni. Sesudah “membunuh tuhan” Barat mengangkat tuhan baru yakni logocentrisme atau rasionalisme. Tidak puas dengan tuhan baru mereka mengangkat liberalisme. Namun kini liberalisme seperti moncong bedil. Pandangan-pandangan yang tidak “setuju” harus keluar atau berhadapan. “You are with us or against us”.
Liberalisme membawa gagasan kepelbagaian (multiplicities), kesamarataan, (equal representation) dan keraguan yang menyeluruh (total doubt). Barat kini adalah sosok yang tanpa wajah. Atau seperti kata Ziauddin Sardar wajah yang tanpa kebenaran (no truth), tanpa realitas (no reality), tanpa makna (no meaning). There is no comfort in the truth. Setting alam pikiran Barat ini dihukumi Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah (the end of History).
Diskursus tentang God-man & God-world relation di abad pertengahan kini sudah tidak relevan. Humanisme telah mendominasi dan menyingkirkan theisme. Akibatnya, teologi tanpa metafisika, agama tanpa spiritualitas atau bahkan religion without god. Teologi (theos dan logos) secara etimologis tidak lagi memiliki akar ketuhanan. Istilah teologi pembebasan, teologi emansipasi, teologi menstruasi dsb. tidak lagi berurusan dengan Tuhan. Agama bagi postmodernisme tidak lebih dari sebuah narasi besar (grand narrative) yang dapat diotak-atik oleh permainan bahasa. Makna realitas tergantung kepada kekuatan dan kreatifitas imaginasi dan fantasi. Feeling is everything kata Goethe.
Kebenaran itu relatif dan menjadi hak dan milik semua. Kebenaran adalah illusi verbal yang diteima masyarakat atau tidak beda dari kebobongan yang disepakati. Etika harus di globalkan agar tidak ada orang yang merasa paling baik. Baik buruk tidak perlu berasal dari apa kata Tuhan, akal manusia boleh menentukan sendiri.
Barat adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam, Hindu, bahkan Jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika elemen-elemen suatu pandangan hidup dimasuki oleh elemen pandangan hidup lain, maka akan terjadi con-fusion alias kebingungan. Margaret Marcus (Maryam Jameelah), malah mengingatkan jika pandangan hidup Barat menelusup kedalam sistim kepercayaan Islam, tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa. Benar, ketika elemen-elemen Barat yang anti Kristen dipinjam anak-anak muda Muslim, maka mulut yang membaca syahadat itu akan mengeluarkan pikiran atheis. Tuhan yang Maha Kuasa, bisa menjadi “tuhan yang maha lemah”, Al-Quran yang suci dan sakral tidak beda dari karya William Shakespear, karena ia sama-sama keluar dari mulut manusia.
Jika ummat Islam ingin maju seperti Barat maka ia akan menjadi seperti Barat dan bukan seperti Islam. Dan suatu hari nanti akan ingat keluhan David Thomas atau tangisan Tertulian yang sudah lapuk “Apalah artinya Athena tanpa Jerussalem”.
Oleh: Hamid Fahmy Zarkasyi *
www.hidayatullah.com
Mereka BerkataTentang Yahudi
(Sumber: Abul Fida Muhammad Izzet Muhammad Arif, “Dajjal Pemimpin Yahudi”, Solo: Ziyad Visi Media, November 2007)
Greece Halspec dlm bukunya “Kenabian dan Politik”, menukil ucapan seorang fundamentalis bernama Paul Will:
“Sesungguhnya kami sangat menaruh hormat kepada presiden Sadat dan Menahim Begin. Hanya saja kesepakatan perundingan Camp David umurnya tidak akan berlangsung lama. Di sana, di Timur Tengah sama sekali tidak ada kata perdamaian, sampai saatnya al-Masih muncul kemudian ia duduk di atas singgasana Daud di Yerusalem (al-Quds).”
Mayer Rochild mengatakan (disebutkan dalam buku Copeland “Ahjaar ‘Ala Riq’atis Syath Ranji” hlm 48):
“Ketika tiba saatnya bagi tuan kami dan tuan seluruh umat di dunia ini untuk menerima tongkat kekuasaan, maka dengan otomatis tangan ini akan menyingkirkan semua orang yang mencoba menghalangi jalannya.”
Dalam Protokolat Zionis ke-9 dijelaskan hakikat obsesi Zionis:
“Sesungguhnya kami memiliki banyak obsesi jauh ke depan. Yang ia akan menjadi sumber segala teror bagi mereka yang menghalang-halangi di tengah jalan.”
Dalam Protokolat Zionis ke-4 disebutkan:
“Siapa saja dan apa saja yang bisa melepas kekuatan tersembunyi dari singgasananya? Sudah pasti hal ini berkaitan erat dengan pecahnya perang Arab pada saat ini. Sesungguhnya Freemason yang tersebar di seluruh dunia ini hendaklah terus melakukan terobosan saat manusia terlena, bergerak sebagai batu loncatan bagi obsesi kita. Tapi perlu diingat bahwa keuntungan yang bisa kita capai –yang kita terus berusaha merealisasikannya– dari kekuatan ini, sesuai dengan program kerja kita, begitu juga dengan di setiap pusat komando gerakan kita, bagi dunia ini obsesi kita masih menjadi tanda tanya besar, tak seorang pun boleh tahu!!”
Rabbi tentara Israel –saat memasuki kota al-Quds dengan membawa Taurat (yang diselewengkan) kemudian berhenti di depan Tembok Ratapan– mengatakan:
“Mulai hari ini kita sudah memasuki masa al-Masihi setelah kita mampu menguasai al-Quds dan Tembok Ratapan.”
Dalam sebuah pernyataan pada muktamar kelompok B’Nai B’Rith, sebuah anak gerakan Masonry Yahudi pada bulan Februari 1936 dinyatakan:
“Sesungguhnya kerajaan Yahudi yang ditunggu kemunculannya tidak akan pernah rela memerintah dunia ini sebelum menghancurkan Paus dari kursi kekuasaannya dan melepas semua raja-raja di dunia ini.”
Bernad Dezrailly telah menulis sebuah buku pada tahun 1844:
“Dunia ini dipimpin dan dikendalikan olah beberapa orang yang sangat jauh berbeda dari apa yang dibayangkan oleh kebanyakan manusia yang tidak bisa mengenal lebih dekat rahasia-rahasia yang ada di dalamnya.”
(Bernad Dezrailly adalah saudara sepupu Benyamin Dezrailly (seorang Yahudi yang mewajibkan kepada anak-anaknya agar mereka mengabadikan nama ini sehingga mereka dapat dikenal hingga keturunan mereka). Ayahnya bernama Ishaq Dezrailly yang juga seorang Yahudi yang puas dengan ideologi liberalisme yang disebarluaskan oleh gerakan Illuminati di bawah kepemimpinan Rotchild yang mempunyai obsesi satanik)
Oto Basmark, seorang konsultan, mengatakan bahwa terdapat bentuk pemerintahan rahasia yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia, akan tetapi ia juga tidak mampu mendefinisikannya dan memberinya nama. Ia tidak bisa diselami kedalamannya ( immonderabilia).
(Oto Basmark adalah anak ilegal dari Marshall Slot seorang Yahudi yang termasuk anggota kementerian Prancis dan ibunya bernama Louisa Meiken yang juga berdarah Yahudi)
La Marten mengakui adanya pemerintahan yang dikendalikan oleh tangan-tangan fiktif.
Mazini mengatakan kepada Dr. Berdenstein:
“Kita ingin menghadang semua bahaya yang datang. Hanya saja sayangnya di sana ada bahaya yang tidak bisa dilihat dengan kasat mata manusia dan langkahnya akan menginjak kita semua. Dari mana ia datang? Dan di mana ia sekarang? Tidak ada satu pun orang yang mengetahuinya. Atau paling tidak, tidak ada satu pun yang mampu membongkar rahasianya. Mereka adalah komunitas rahasia yang terorganisir yang sangat samar program-programnya, sampai pun kita yang masih satu ras dengan mereka.”
Pengarang buku “Pemerintahan Rahasia Internasional” (terjemahan Makmun Said, Cet. VIII, 1409 H/1989 M, Dar an-Nafais, Beirut), Shed Speerdovitz, ditemukan tewas dalam keadaan terkena racun gas sebelum agenda Pertemuan Damai kolosal. Dia adalah keturunan keluarga terpandang asal Skandinavia. Dia telah membongkar Pemerintahan Rahasia Internasional dalam bukunya yang dia yakini betul bahwa terdapat semacam lembaga internasional milik Yahudi yang sifatnya internasional yang anggotanya pada awal abad 20 diperkirakan ada sekitar 300 Yahudi yang diketuai oleh salah satu dari mereka. Pemerintahan mereka dikendalikan dengan cara dikttator. Mereka semua bergerak untuk menguasai dunia dan juga berusaha menguasai semua bangsa-bangsa dunia lewat perantara para antek mereka. Dan mereka tidak akan sungkan menghabisi siapa saja yang diberi wewenang tapi menyeleweng dan tidak taat kepada instruksi pimpinan atau berusaha menghalangi salah satu rencana strategis mereka. Mereka juga mempunyai kekuatan pengaruh yang tidak bisa dibilang remeh, yang sangat memungkinkan untuk menggoalkan setiap orang meskipun ‘gembel’ sampai ke puncak kepemimpinan dan memiliki wewenang tertinggi. Dan mereka juga mampu menjatuhkan siapa saja yang berkuasa kapan saja mereka mau dan mana waktu yang tepat menurut mereka.
William Geycar dalam bukunya “Ahjar ‘Ala Riq’atis Syathranji” (terjemah Said Jazairi, Cet. X, 1408 H/1988 M, Dar an-Nafais, Beirut), mengatakan
“Kitab-kitab suci memberitakan kepada kita konspirasi-konspirasi yang dituliskan, seperti oleh Waiz Hoobert, yang pasti akan dilaksanakan dan direalisasikan. Sampai datangnya suatu hari kekuatan jahat dan durjana akan mampu menguasai muka bumi ini. Salah satu dari ayat kitab tersebut memberitakan kepada kita bahwa syetan akan berdiam diri selama seribu tahun. Dan saya tidak mengatakan tahu secara pasti waktu tersebut jika dibaca dari ayat itu. Atau berapa lama jika kita hitung dengan ukuran manusia yang beredar.”
Dalam sebuah buku Ensiklopedi Pengetahuan Masonry yang diterbitkan di Philadelphia pada tahun 1906 M disebutkan:
“Setiap klub yang ada harus merefleksikan eksistensi Haikal Yahudi. Dan hendaknya setiap rabbi tetap berada pada kursinya (posisinya). Sebagai ungkapan taat kepada raja Yahudi. Dan setiap Mason adalah jelmaan dari antek Yahudi.”
Gold Meir, mantan Perdana Menteri Israel, pernah berkata:
“Al-Quds adalah ibu kota abadi kita. Dan kami tidak akan mengundurkan diri untuk memiliknya meskipun harus menumpahkan darah, sampai datang nanti Sang Pemimpin Perdamaian.”
Dalam sebuah rilis internasional milik Yahudi pada tahun 1861, ditulis:
“Sesungguhnya ruh Masonry Eropa adalah ruh Yahudi dalam hal dasar-dasar keyakinannya. Ia mempunyai perumpamaan dan bahasa yang sama. Dan secara umum ia satu organisasi dan satu cita-cita yang akan menerangi jalan Masonry dan memperkokohnya. Cita-cita itu pula yang menerangi jalan Israel dan memperkokohnya. Adapun tempat penganugerahan mahkota tersebut adalah pada sebuah tempat ibadah yang sangat indah sebagaimana kota al-Quds sebagai simbol dan jantung kemenangan.”
William Care mengatakan:
“Mereka semua adalah dalang di balik semua aksi teror di setiap tempat di dunia ini. Semua dilakukan untuk menyambut raja mereka yang ditunggu-tunggu. Sampai mereka sengaja menempatkan seorang penguasa (sebagai batu loncatan mereka) pada gerakan Rotary agar setia dalam posisi kursi kekuasaannya berkhidmat melayani segala instruksi pemerintahan rahasia sampai mati, dimanapun kekuasaannya berada. Yang tindakan itu melahirkan suatu gerakan baru yang akhirnya gagal dalam pentas politik seperti Komunisme, Marxisme, Sosialisme, atau gerakan sekulerisme yang memisahkan antara agama dan dunia agar manusia menjalani hidup ini tanpa konsep dasar, tanpa norma, dan tanpa akhlak, dan tanpa undang-undang keadilan Ilahi.”
Dr. Said Muhammad Hasan (1882-1948) dalam bukunya “Yahudi di Mesir”:
“Sesungguhnya aktivitas gerakan Yahudi dalam bidang politik terbagi menjadi 3 aliran:
1. Peran pertama, berkaitan dengan peran Yahudi dalam membentuk kader inti internasional. Begitu juga mereka menyebarkan rilis berita tentang pemikiran dan ajaran mereka di tengah masyarakat Mesir.
2. Peran kedua, menyebarkan paham, dan membentuk klub-klub Mason.
3. Peran ketiga, peran mereka dalam kehidupan politik Mesir. Mereka berusaha menembus wilayah politik dengan cara apapun lewat bendera Masonry ini. Bahkan mereka berusaha mengguncang wilayah Dumai dengan jaringan yang sangat halus, hal itu dilakukan semenjak Napoleon Bonaparte hingga saat ini.”
Rochcett, seorang tokoh Yahudi, ditanya tentang gerakan Masonry. Ia menjawab:
“Gerakan Masonry yang merdeka adalah mereka yang membangun kerajaan Yahudi Internasional.”
Pendeta Yahudi –sosok yang dianggap paling berbahaya berkaitan dengan kekuatan jahat di Amerika– yang bernama Abraham Lesvin, yang juga seorang doktor di Universitas Philadelphia, ditanya mengapa mendirikan negara Israel padahal rakyat harus mengorbankan banyak hal. Ia menjawab:
“Semua itu dilakukan untuk menyambut Sang Tokoh Perdamaian… Raja Dunia yang sangat tulus yang akan menguasai dunia ini dan siapa saja yang ada di atasnya dengan berlandaskan Taurat dan Talmud. dan tahun 2000-an adalah tahun pendirian Haikal yang telah dijanjikan dan tahun persiapan singgasana untuk Sang Raja. Dia adalah raja kita yang kita tunggu-tunggu dan dialah Al-Masih kita, karenanya kita berjuang.”
Dalam protokolat Zionis ke-8 disebutkan:
“Kami telah menyebarkan kepada semua negara-negara besar yang mempunyai pengaruh kepemimpinan tentang etika-etika yang negatif dan jauh dari perasaan sehat manusia.”
Simon Broke, salah seorang pemikir Yahudi Barat, mengatakan:
“Keberhasilan kita dalam menguasai budaya dan ekonomi merupakan rahasia kekuatan kita dalam mengendalikan dunia ini. Dan budaya seks bebas merupakan slogan hidup yang dipakai oleh selain kita (goyyim/non-yahudi), agar kita bisa menguasai dan menaklukkan mereka sebagai budak kita nantinya, setelah mereka menjadi budak hawa nafsu mereka sendiri.”
Arkand, salah seorang pemikir salib Barat, menyampaikan sebuah pernyataan pada sebuah pesta di kota New York tahun 1938 M:
“Dengan perantara agen berita internasional dan perantara seni (lewat gedung bioskop, televisi, dan media cetak), kaum Yahudi berusaha mencuci otak kalian dan mencoba memaksakan pandangan mereka kepada kalian dan menceritakan kejadian- kejadian sesuai dengan apa yang mereka inginkan… bukan sesuai dengan realita yang ada. Dan dengan perantara film-film sinema, kaum Yahudi berusaha memberikan konsumsi otak para pemuda dan anak-anak kita. Dengan seenaknya mereka mencekoki tanpa terkendali, sehingga para pemuda dan anak-anak akan menjadi budak dan hamba mereka.”
Peringatan dari Benjamin Franklin
(Sumber: Sabili No. 17 TH. XVI 12 Maret 2009 / 15 Rabiul Awal 1430)
“Di sana ada bahaya besar yang mengancam Amerika. Bahaya itu adalah orang-orang Yahudi. Di bumi mana pun orang Yahudi itu berdiam, mereka selalu menurunkan tingkat moral kejujuran dalam dunia komersial.”
“Jika orang-orang Yahudi tidak disingkirkan dari Amerika dengan kekuatan undang-undang, maka dalam waktu 100 tahun mendatang, mereka akan menguasai dan menghancurkan kita dengan mengganti bentuk pemerintah yang telah kita perjuangkan dengan darah, nyawa, harta, dan kemerdekaan pribadi kita.”
Manuskrip Kuno dimata Kristen Barat dan Amerika
(Sumber: Muhammad Isa Dawud, “Dajjal Akan Muncul Dari Segitiga Bermuda” (diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim), Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. VI, November 1997, hal. 213-215)
Sejak beberapa tahun, saya bersahabat dengan seorang profesor orientalis asal Prancis. Ia menguasai bahasa Arab dengan fasih dan beberapa bahasa yang telah punah: Siryani, Aram, Ibrani, dan Amhari. Ia adalah seorang pakar dalam kajian perbandingan agama. Karena kesungguhan dan kejujuran, ia memeluk Islam karena Allah. Akan tetapi, ia menyembunyikan keislamannya. Dalam suatu pertemuan, ia memberitahu saya tentang keislamannya karena Allah dan berjanji kepada saya memberi hadiah yang sangat berharga dan tak bisa dinilai harganya. Ini terjadi dalam perjalanan saya kembali ke Kairo.
Ia menepati janjinya. Ia memperlihatkan kepada saya foto beberapa tulisan dalam bahasa kuno. Ia menerjemahkannya untuk saya. Tulisan itu menegaskan bahwa Kristen Barat dan Amerika memerangi kaum Muslim berdasarkan manuskrip-manuskrip kuno. Di antaranya ada yang berasal dari kaum Muslim, lalu dicuri, dan sebagian berasal dari generasi-generasi sebelum kelahiran Nabi Isa atau sesudahnya. Ketika ia memberikan kepada saya sebuah tulisan dan terjemahannya, ia berkata, “Jika Anda menginginkan gambar-gambar, lembaran-lembaran, manuskrip-manuskrip seperti ini, datanglah ke Vatikan, universitas-universitas, di Swedia, Jerman, dan beberapa tempat di Prancis.”
Yang ditunjukkan kepada saya adalah manuskrip milik seorang bernama Ibn Harsyil ar-Rumi, seorang Yahudi, dan diberi komentar oleh seorang profesor dari Prancis yang mengatakan, “Ia beriman kepada Allah dan kata-katanya benar berdasarkan apa yang diketahui dari riwayat yang hidup.”
Yang terpenting adalah bahwa Ibn Harsyil mengatakan dalam syairnya berikut ini:
Kebebasan Dajjal, kebebasan al-Kakhbad,
Kebebasan alam seluruhnya.
Segala urusannya ada di pantai jauh, dan binasa.
Semua orang adalah Dajjal, segala urusan bergerak
dan berputar.
Semua orang adalah Dajjal, ilmunya berisi sihir
Dan tipuan, dan Tuhan.
Tuhan kembali memerintahkan al-Kakhbad membunuh Dajjal
Dan menghancurkan negeri paling jelek, penuh kesusahan.
Tiada kebebasan lebih dari kebebasan alam,
kebebasan kemuliaan, dan kembalinya sejahtera.
Di setiap bumi Tuhan, al-Kakhbad memerangi pantai dan sungai.
Tinggalkanlah kebinasaan, bebaskan gelas dan kepala,
bebaskan kepayahan, bebaskan kadal.
Bebaskan singa, bebaskan beruang.
Setelah itu, Ibn Harsyil langsung mengatakan dalam syairnya yang lain:
Barat dan timur, setiap Arab dan Barat,
setiap urusan seluruh dunia.
Tunduk pada al-Kakhbad, dan kebebasan Dajjal
Kebebasan tanpa akhir kecuali setelah kembali al-Masih.
Setiap serigala dan kambing bersama-sama memuji Tuhan,
kebebasan alam berakhir.
Al-Kakhbad mati syahid, lalu kerajaan milik al-Masih.
Berkuasa beberapa tahun, dan mati karena renta,
kebebasan membara.
Dan membakar, al-Masih hadir belum mati, dan hancur lagi.
Seluruh dunia dalam bencana dan kebebasan,
seluruh dunia dalam keburukan.
Tetapi yang pasrah pada Tuhan, al-Masih petunjuk memohon
dan Tuhan mengabulkan.
Tuhan mengabulkan, menghancurkan bara
dan bakar dengan burung unta.
Lalu Ibn Harsyil ar-Rumi menutup perkataannya dengan syair berikut:
Seluruh dunia aman lagi, seluruh dunia rumah al-Kakhbad.
Al-Masih meminta kembali pada Tuhannya,
semua kebebasan menjadi jauh.
Tuhan memperingatkan semua. Semua mendapat petunjuk,
pasrah kepada Tuhan.
Semua ingin segala hal, maka ada apa yang diinginkan.
Seluruh dunia Tuhan tiba masa binasa.
Seluruh dunia Tuhan tiada kebaikannya bagi Tuhan, Dia kuasa.
Matahari lari dan terbenam arah terbalik, binatang berbicara.
Semua: hukum Tuhan tak tampak, tiba kebinasaan,
bagi Tuhan apa yang dikehendaki.
Itulah berita tentang Musa, dan aku dekat kepada Musa.
Aku, Barisy bin Hamis, melihat Musa yang diajak Tuhan bicara.
Tetapi yang melihatnya al-Kakhbad lebih besar
dari al-Kakhbad di akhir zaman Tuhan.
Shalawat dan salam Tuhan atasnya.
Betul, itu adalah bom dan kejutan. Namun ada yang lebih dahsyat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Nu’aim bin Hamad, Nabi Muhammad saw berwasiat kepada para pengikutnya yang akan menaklukkan Roma dan selanjutnya Vatikan untuk berhati-hati pada tempat tertentu. Di situ terdapat sesuatu tertentu, “Jika kalian telah menaklukan Roma, masuklah ke gereja sebelah timur melewati pintu sebelah timur. Lalu ikatkan tujuh bendera dan bunuhlah yang kedelapan. Sebab, di bawahnya terdapat tongkat Musa, Injil, dan perhiasan Bait al-Maqdis.”